Pernah
kah kamu berpikir bahwa “bisakah aku menemukan seseorang yang bisa kamu percaya
dan jadikan sandaran selain keluarga?”. Aku yang masuk dalam golongan orang
yang tertutup, menjawab “tidak mungkin”. Menurutku hanya keluarga yang bisa
dijadikan tempat bersandar. Sahabat mungkin bisa kita percaya tapi bukanlah
tempat untuk kita bersandar. Sepenuhnya aku mempercayai keluargaku,
menyanyanginya sepenuh hati dan yang tidak akan pernah mengkhianati apapun yang
terjadi. Tapi, ketika pada akhirnya kedua orang tuaku telah pergi untuk
selamanya, kepada siapa lagi aku akan mengadu dan bersandar. Aku adalah anak
pertama dan sudah selayaknya aku lah yang menjadi tempat bersandar bagi
adik-adikku. Di akhir tahun 2016 yang pada akhirnya aku harus menjadi orang
yang tertua dirumah, aku berharap bahwa kelak di tahun 2017 aku bisa menemukan
orang yang bisa aku jadikan tempat bersandar. Menggantikan papahku yang berada
diposisi nomor satu di daftar nomor telepon yang tersimpan dalam hp ku. Aku
tidak meminta yang sempurna, cukup yang menerima keadaanku dan keluargaku yang
sudah tidak ada orang tua.
Pertengahan
2017, aku dipertemukan oleh seseorang. Tidak sempurna, tapi sepertinya bisa
dipercaya, pikirku saat itu. Minggu-minggu awal kedekatan kami, bisa dibilang
saat-saat yang penuh kecurigaan. Benarkah dia orang baik, benarkah dia tidak
memanfaatkanku, benarkah dia tulus, dan kalimat kecurigaan yang lain. Namun
seiring berjalannya waktu, pada akhirnya aku yakin bahwa dialah orangnya. Aku
menyayanginya tanpa alasan yang jelas, aku percaya ketulusannya. Aku berharap
dia pun merasakan apa yang aku rasakan. Berharap dia percaya bahwa aku adalah
orang baik, aku menerimanya apa adanya semampuku aku akan berusaha memantaskan
diri.
Tapi
dua kali aku di khianati olehnya, pengkhianatan pertama aku berpikir aku bisa
memaafkannya. Aku bisa memberinya kesempatan. Aku bisa menyembuhkan luka yang
ia torehkan sekali dibanding segala kebaikan yang sudah dia berikan. Aku tidak
akan menyerah hanya karena satu kesalahannya. Dia sudah menerima keadaan
keluarga ku dan tidak lari dari ku, aku sudah bersyukur. Meskipun jika dipikir
lebih dalam lagi, pengkhianatan dilakukan tepat seminggu setelah aku
perkenalkan dia dengan keluargaku. Aku berpikir, bisakah dibayangkan jika kedua
orang tua ku masih ada betapa kecewa nya mereka atas perlakuannya terhadapku.
Tapi sekali lagi aku menguatkan diri bahwa dibanding aku harus memulai dari
awal dengan orang lain bukankah akan lebih baik jika aku memaafkan nya dan
memberinya satu kesempatan. Meskipun hal itu seperti luka yang masih akan terus
terasa sakit.
Sayangnya
tangisku ketika itu ternyata tidak ada artinya. Aku kembali dikhianati dengan
orang yang sama. Mereka belum berakhir… mereka tidak mengakhiri. Lukaku kembali
terasa lebih sakit. Untuk pertama kalinya, Aku memutuskan mengakhiri.
Namun
ada apa denganku ini, kenapa aku lemah oleh rasa sayang ini. Dibandingkan
menahan rasa sakit dikhianati aku tidak bisa menahan rasa sakit kehilangan. Aku
kembali memaafkannya.. Seperti orang bodoh yang berkali-kali ditikam dari
belakang oleh orang yang dia sayang. Mungkin karena aku membutuhkannya, karena
aku sayang dia.
Kami
kembali bersama. Sesungguhnya aku mengajukan syarat yang seharusnya dia tepati
ketika dia meminta waktu. Tapi seminggu setelah kami kembali bersama, dia
berubah. Dia tidak lagi membagi ceritanya kepadaku. Aku menjadi bagian dari
cerita kesedihan dan kesepiannya tapi bukan kebahagiannya, dia hanya mengatakan
sibuk kepadaku ketika dia sedang berlibur yang bahkan aku tidak tau. Dia mulai
menjauh, katanya penyebabnya karena sedang ada masalah keluarga, perasaannya
sudah tidak jelas lagi kepadaku. Aku yang ketika itu seharusnya masih marah
karena bukti berakhirnya hubungan mereka belum ditunjukan kepadaku, aku yang
masih memberinya waktu, pada akhirnya memilih mengalah, demi kamu. Demi kamu
yang sudah 7 bulan ini menemaniku terutama ketika saat-saat tersulit.
Sekali
lagi, pada akhirnya kami kembali bersama..
Tapi
hal itu tak berlangsung lama, hanya dalam beberapa hari, dia kembali menjauh.
Menggiring aku untuk memutuskan berpisah karena alasan yang berbeda kali ini.
Alasan yang tidak bisa aku terima, yang menyebabkan ketidakjelasan masa depan
hubungan ini. Bukan pengkhianatan tapi penantian berkepanjangan yang entah
kapan akan berakhir dan aku memutuskan untuk tidak ikut bersama menantinya.
Untuk
kesekian kalinya, aku kembali dikecewakan. Aku merasa seperti tidak ada artinya
dimata nya. Tak bisakah dia merasakan bagaimana rasanya jadi aku. Aku ingin
bertahan, tapi haruskah aku berjuang sendirian? Tidak layak kah aku untuk
diperjuangkan.. Atau karena terlalu bodohnya aku dimanfaatkan oleh rasa sayang.
Baginya,
aku harus mengerti bagaimana perasaannya saat itu. Masalah keluarganya
& hidupnya yang tak lagi bersemangat. Tapi tak bisakah aku ikut berjuang
bersama untuk masalahmu. Tak bisakah aku menjadi orang yang tetap berada
disisimu ketika kamu terpuruk, dan tak bisakah kamu juga mengerti bahwa bukan
hanya kamu yang memiliki masalah. Hari itu, pada akhirnya kami mengakhirinya.
Tapi apa yang dia lakukan terhadapku setelahnya? Omongannya berubah, dia
memungkiri berakhirnya hubungan itu, seolah tak terjadi apa-apa. Namun ketika
aku kembali lagi, hari berikutnya dia kembali juga meminta diakhiri, begitu
seterusnya berubah-ubah berkali-kali. Seolah hanya dia yang memiliki perasaan
dan hati sedangkan aku tidak.
Omongannya
sudah tidak bisa aku pegang lagi. Dia yang dulu sudah tidak ada lagi….
Aku
harus ikhlas memutuskan untuk berpisah. Aku harus ikhlas mengubur kenangan
bersamanya dan aku harus ikhlas membuang jauh-jauh rangkaian mimpi bersamanya.
Aku ikhlas..
Apapun
alasan dia sebenarnya, aku mencoba untuk merelakan. Mungkin bukan dia yang bisa
aku jadikan tempat bersandar. Mungkin bukan dia mimpi ku bisa tercapai. Dan
mungkin bukan aku dalam hatinya.
Terima
kasih telah mengajarkanku hal baru, terima kasih telah membuatku percaya kepada
orang lain selain keluargaku, terima kasih karena aku bahagia bersamamu, terima
kasih atas kebaikanmu selama ini terhadapku dan keluargaku. Oh iya, keluargaku
yang sudah mengenalmu, semoga mereka tidak akan menanyakan banyak hal karena
sudah percaya kamu dan sempat menitipkan aku kepadamu. Aku mendukung apapun
pilihanmu. Semoga kamu bahagia..
Aku
hanya menyesalkan, kenapa ini harus diakhiri tanpa bertatap muka.. Hubungan ini
diawali dengan baik-baik bukankah seharusnya diakhiri dengan cara yang baik
pula. Tapi ya sudahlah, toh sama saja bukan. Semoga kita berdua tidak
menyesalinya karena benar-benar telah berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar