Jumat, 12 Januari 2018

Game Over



Pernah kah kamu berpikir bahwa “bisakah aku menemukan seseorang yang bisa kamu percaya dan jadikan sandaran selain keluarga?”. Aku yang masuk dalam golongan orang yang tertutup, menjawab “tidak mungkin”. Menurutku hanya keluarga yang bisa dijadikan tempat bersandar. Sahabat mungkin bisa kita percaya tapi bukanlah tempat untuk kita bersandar. Sepenuhnya aku mempercayai keluargaku, menyanyanginya sepenuh hati dan yang tidak akan pernah mengkhianati apapun yang terjadi. Tapi, ketika pada akhirnya kedua orang tuaku telah pergi untuk selamanya, kepada siapa lagi aku akan mengadu dan bersandar. Aku adalah anak pertama dan sudah selayaknya aku lah yang menjadi tempat bersandar bagi adik-adikku. Di akhir tahun 2016 yang pada akhirnya aku harus menjadi orang yang tertua dirumah, aku berharap bahwa kelak di tahun 2017 aku bisa menemukan orang yang bisa aku jadikan tempat bersandar. Menggantikan papahku yang berada diposisi nomor satu di daftar nomor telepon yang tersimpan dalam hp ku. Aku tidak meminta yang sempurna, cukup yang menerima keadaanku dan keluargaku yang sudah tidak ada orang tua.

Pertengahan 2017, aku dipertemukan oleh seseorang. Tidak sempurna, tapi sepertinya bisa dipercaya, pikirku saat itu. Minggu-minggu awal kedekatan kami, bisa dibilang saat-saat yang penuh kecurigaan. Benarkah dia orang baik, benarkah dia tidak memanfaatkanku, benarkah dia tulus, dan kalimat kecurigaan yang lain. Namun seiring berjalannya waktu, pada akhirnya aku yakin bahwa dialah orangnya. Aku menyayanginya tanpa alasan yang jelas, aku percaya ketulusannya. Aku berharap dia pun merasakan apa yang aku rasakan. Berharap dia percaya bahwa aku adalah orang baik, aku menerimanya apa adanya semampuku aku akan berusaha memantaskan diri.

Tapi dua kali aku di khianati olehnya, pengkhianatan pertama aku berpikir aku bisa memaafkannya. Aku bisa memberinya kesempatan. Aku bisa menyembuhkan luka yang ia torehkan sekali dibanding segala kebaikan yang sudah dia berikan. Aku tidak akan menyerah hanya karena satu kesalahannya. Dia sudah menerima keadaan keluarga ku dan tidak lari dari ku, aku sudah bersyukur. Meskipun jika dipikir lebih dalam lagi, pengkhianatan dilakukan tepat seminggu setelah aku perkenalkan dia dengan keluargaku. Aku berpikir, bisakah dibayangkan jika kedua orang tua ku masih ada betapa kecewa nya mereka atas perlakuannya terhadapku. Tapi sekali lagi aku menguatkan diri bahwa dibanding aku harus memulai dari awal dengan orang lain bukankah akan lebih baik jika aku memaafkan nya dan memberinya satu kesempatan. Meskipun hal itu seperti luka yang masih akan terus terasa sakit.


Sayangnya tangisku ketika itu ternyata tidak ada artinya. Aku kembali dikhianati dengan orang yang sama. Mereka belum berakhir… mereka tidak mengakhiri. Lukaku kembali terasa lebih sakit. Untuk pertama kalinya, Aku memutuskan mengakhiri.

Namun ada apa denganku ini, kenapa aku lemah oleh rasa sayang ini. Dibandingkan menahan rasa sakit dikhianati aku tidak bisa menahan rasa sakit kehilangan. Aku kembali memaafkannya.. Seperti orang bodoh yang berkali-kali ditikam dari belakang oleh orang yang dia sayang. Mungkin karena aku membutuhkannya, karena aku sayang dia.

Kami kembali bersama. Sesungguhnya aku mengajukan syarat yang seharusnya dia tepati ketika dia meminta waktu. Tapi seminggu setelah kami kembali bersama, dia berubah. Dia tidak lagi membagi ceritanya kepadaku. Aku menjadi bagian dari cerita kesedihan dan kesepiannya tapi bukan kebahagiannya, dia hanya mengatakan sibuk kepadaku ketika dia sedang berlibur yang bahkan aku tidak tau. Dia mulai menjauh, katanya penyebabnya karena sedang ada masalah keluarga, perasaannya sudah tidak jelas lagi kepadaku. Aku yang ketika itu seharusnya masih marah karena bukti berakhirnya hubungan mereka belum ditunjukan kepadaku, aku yang masih memberinya waktu, pada akhirnya memilih mengalah, demi kamu. Demi kamu yang sudah 7 bulan ini menemaniku terutama ketika saat-saat tersulit.

Sekali lagi, pada akhirnya kami kembali bersama..
Tapi hal itu tak berlangsung lama, hanya dalam beberapa hari, dia kembali menjauh. Menggiring aku untuk memutuskan berpisah karena alasan yang berbeda kali ini. Alasan yang tidak bisa aku terima, yang menyebabkan ketidakjelasan masa depan hubungan ini. Bukan pengkhianatan tapi penantian berkepanjangan yang entah kapan akan berakhir dan aku memutuskan untuk tidak ikut bersama menantinya.

Untuk kesekian kalinya, aku kembali dikecewakan. Aku merasa seperti tidak ada artinya dimata nya. Tak bisakah dia merasakan bagaimana rasanya jadi aku. Aku ingin bertahan, tapi haruskah aku berjuang sendirian? Tidak layak kah aku untuk diperjuangkan.. Atau karena terlalu bodohnya aku dimanfaatkan oleh rasa sayang.

Baginya, aku harus mengerti bagaimana perasaannya saat itu. Masalah keluarganya & hidupnya yang tak lagi bersemangat. Tapi tak bisakah aku ikut berjuang bersama untuk masalahmu. Tak bisakah aku menjadi orang yang tetap berada disisimu ketika kamu terpuruk, dan tak bisakah kamu juga mengerti bahwa bukan hanya kamu yang memiliki masalah. Hari itu, pada akhirnya kami mengakhirinya. Tapi apa yang dia lakukan terhadapku setelahnya? Omongannya berubah, dia memungkiri berakhirnya hubungan itu, seolah tak terjadi apa-apa. Namun ketika aku kembali lagi, hari berikutnya dia kembali juga meminta diakhiri, begitu seterusnya berubah-ubah berkali-kali. Seolah hanya dia yang memiliki perasaan dan hati sedangkan aku tidak.

Omongannya sudah tidak bisa aku pegang lagi. Dia yang dulu sudah tidak ada lagi….
Aku harus ikhlas memutuskan untuk berpisah. Aku harus ikhlas mengubur kenangan bersamanya dan aku harus ikhlas membuang jauh-jauh rangkaian mimpi bersamanya. Aku ikhlas..

Apapun alasan dia sebenarnya, aku mencoba untuk merelakan. Mungkin bukan dia yang bisa aku jadikan tempat bersandar. Mungkin bukan dia mimpi ku bisa tercapai. Dan mungkin bukan aku dalam hatinya.

Terima kasih telah mengajarkanku hal baru, terima kasih telah membuatku percaya kepada orang lain selain keluargaku, terima kasih karena aku bahagia bersamamu, terima kasih atas kebaikanmu selama ini terhadapku dan keluargaku. Oh iya, keluargaku yang sudah mengenalmu, semoga mereka tidak akan menanyakan banyak hal karena sudah percaya kamu dan sempat menitipkan aku kepadamu. Aku mendukung apapun pilihanmu. Semoga kamu bahagia..

Aku hanya menyesalkan, kenapa ini harus diakhiri tanpa bertatap muka.. Hubungan ini diawali dengan baik-baik bukankah seharusnya diakhiri dengan cara yang baik pula. Tapi ya sudahlah, toh sama saja bukan. Semoga kita berdua tidak menyesalinya karena benar-benar telah berpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar