Jumat, 12 Januari 2018

A Letter For You



Putus..
Kata yang tidak pernah ingin aku ucapkan pada akhirnya keluar. Aku adalah orang yang paling membenci perpisahan. Entah itu dengan sahabat, keluarga dan orang yang disayang. Seperti juga menyayangkan perpisahanku dengan teman-temanku beberapa tahun lalu atau setahun yang lalu dengan orang tuaku. Karena aku adalah orang yang sulit bisa dekat dengan orang lain, sulit bisa terbuka dengan orang lain. Tapi, mungkin ini jalan yang terbaik buat dia, ketika sudah tidak bisa lagi aku pegang omongannya, ketika orang yang membuatku jatuh cinta sudah tidak ada lagi dalam dirinya dan ketika hubungan yang dulu aku yakini akan berakhir bahagia pada akhirnya harus diakhiri. Aku tidak cukup kuat untuk memperjuangkan hubungan ini seorang diri saat dia saja sudah menyerah.

Aku selalu bertanya dalam hati “tak layak kah aku untuk diperjuangkan?” tapi kemudian aku sadar bahwa, dia pun berhak memilih untuk pergi. Mungkin orang lain akan berkomentar betapa berlebihannya sikapku ketika hubungan yang hanya 7 bulan ini berakhir. Sekali lagi, aku adalah tipe orang yang tidak menyukai perpisahan, dengan siapapun.

Segala hal selalu mengingatkan ku padanya, tempat tinggalku, tempat yang biasa kami kunjungi atau bahkan hanya sebuah gelas yang biasa ia pakai. Aku menangisi keadaan ini dalam beberapa hari terakhir. Bukan untuk dikasihani, bukan untuk merengek minta kembali, hanya untuk menenangkan diri, mencoba berdamai dengan keadaan ini dan situasi bahwa aku kembali sendiri disini.

Aku harus bertahan sekuat tenaga dan menerima kenyataan. Apapun alasan sebenarnya dibalik perpisahan ini, aku harus ikhlas… Aku yakin kesedihan ini hanya untuk beberapa saat dan aku pasti bisa baik-baik saja seperti sebelumnya, seperti kehidupanku setahun yang lalu tanpa dia. Semoga dia bisa menyelesaikan masalahnya dan mempunyai kehidupan yang lebih baik. Meskipun sesungguhnya aku berharap bisa berada disisinya sampai kesulitannya berakhir.

Game Over



Pernah kah kamu berpikir bahwa “bisakah aku menemukan seseorang yang bisa kamu percaya dan jadikan sandaran selain keluarga?”. Aku yang masuk dalam golongan orang yang tertutup, menjawab “tidak mungkin”. Menurutku hanya keluarga yang bisa dijadikan tempat bersandar. Sahabat mungkin bisa kita percaya tapi bukanlah tempat untuk kita bersandar. Sepenuhnya aku mempercayai keluargaku, menyanyanginya sepenuh hati dan yang tidak akan pernah mengkhianati apapun yang terjadi. Tapi, ketika pada akhirnya kedua orang tuaku telah pergi untuk selamanya, kepada siapa lagi aku akan mengadu dan bersandar. Aku adalah anak pertama dan sudah selayaknya aku lah yang menjadi tempat bersandar bagi adik-adikku. Di akhir tahun 2016 yang pada akhirnya aku harus menjadi orang yang tertua dirumah, aku berharap bahwa kelak di tahun 2017 aku bisa menemukan orang yang bisa aku jadikan tempat bersandar. Menggantikan papahku yang berada diposisi nomor satu di daftar nomor telepon yang tersimpan dalam hp ku. Aku tidak meminta yang sempurna, cukup yang menerima keadaanku dan keluargaku yang sudah tidak ada orang tua.

Pertengahan 2017, aku dipertemukan oleh seseorang. Tidak sempurna, tapi sepertinya bisa dipercaya, pikirku saat itu. Minggu-minggu awal kedekatan kami, bisa dibilang saat-saat yang penuh kecurigaan. Benarkah dia orang baik, benarkah dia tidak memanfaatkanku, benarkah dia tulus, dan kalimat kecurigaan yang lain. Namun seiring berjalannya waktu, pada akhirnya aku yakin bahwa dialah orangnya. Aku menyayanginya tanpa alasan yang jelas, aku percaya ketulusannya. Aku berharap dia pun merasakan apa yang aku rasakan. Berharap dia percaya bahwa aku adalah orang baik, aku menerimanya apa adanya semampuku aku akan berusaha memantaskan diri.

Tapi dua kali aku di khianati olehnya, pengkhianatan pertama aku berpikir aku bisa memaafkannya. Aku bisa memberinya kesempatan. Aku bisa menyembuhkan luka yang ia torehkan sekali dibanding segala kebaikan yang sudah dia berikan. Aku tidak akan menyerah hanya karena satu kesalahannya. Dia sudah menerima keadaan keluarga ku dan tidak lari dari ku, aku sudah bersyukur. Meskipun jika dipikir lebih dalam lagi, pengkhianatan dilakukan tepat seminggu setelah aku perkenalkan dia dengan keluargaku. Aku berpikir, bisakah dibayangkan jika kedua orang tua ku masih ada betapa kecewa nya mereka atas perlakuannya terhadapku. Tapi sekali lagi aku menguatkan diri bahwa dibanding aku harus memulai dari awal dengan orang lain bukankah akan lebih baik jika aku memaafkan nya dan memberinya satu kesempatan. Meskipun hal itu seperti luka yang masih akan terus terasa sakit.